Senin, 28 Januari 2008

kisah kecil tentang uban

setahun yang lalu saya berjanji kepada diri sendiri untuk tidak mencabut uban-uban yang tumbuh di kepalaku. janji itu didasari oleh sebuah hal yang sentimentil: aku ingin perempuan yang pergi hari itu, yang berjanji akan kembali, yang akan mencabutnya.

ya, tahun-tahun sebelum hari perpisahan itu, dialah yang selalu mencabut uban-uban di kepalaku--uban-uban yang rajin sekali tumbuh di usiaku yang masih muda ini. akan aku sebut ini satu dari sekian banyak hal romantis yang pernah kami lakukan. pahanya jadi bantalku dan tangan-tangannya mencari uban-uban di belukar rambutku--sambil ia bercerita tentang banyak hal atau bernyanyi hingga saya tertidur.

maka sejak hari itu saya berjanji untuk tidak mencabut ubanku sebelum ia datang. selama bertahun-tahun saya membiarkan uban muncul satu per satu di kepalaku. banyak orang yang terganggu dengan itu. tetapi saya sama sekali tidak terganggu. justru uban-uban itu menjadi penanda kesetiaan selama saya menunggu. uban-uban itu adalah harapan. uban-uban itu adalah ukuran kesabaran saya. uban-uban itu ada simbol cinta saya. ya, kira-kira begitulah!

tetapi, tadi akhirnya aku mencabutnya satu per satu sambil menangis. menangis bukan karena aku tak lagi berharap perempuan itu datang. aku masih sangat mencintai perempuan itu. sangat mencintainya. tetapi aku tahu sebentar lagi ada kepala yang akan ia urus, akan ia cabut uban-ubannya: kepala suaminya.

maka aku mencabut uban-ubanku sambil menangis agar suatu saat jika ia datang, ia tak lagi perlu terganggu dengan uban-ubanku itu. aku hanya ingin ia terganggu dengan uban-uban suaminya--lelaki yang seharusnya membuat ia bahagia, yang seharusnya ia bahagiakan.

ya, aku mencabut uban-ubanku sambil menangis karena aku ingin mereka berdua bahagia.